Ini adalah kisah petualangan seksku selagi aku kuliah. Nakal memang, bahkan terkesan brutal, namun aku sangat menikmatinya.
Petualanganku bermula sejak aku berkawan dengan Budi, teman satu jurusanku yang berwajah ganteng dan tubuh atletis. Secara fisik dia memang tipe cowok yang idaman para cewek. Sementara aku sih biasa aja, tapi kelebihanku ada pada gaya hidup. Ayah cukup mampu memberi aku mobil pribadi yang gress dan uang jajan yang lumayan. Maka jadilah kami ber
Namun karena begitu mudahnya mendapatkan cewek (tentunya yang tipenya bukan cewek baik-baik alias matre’), timbul ide gila kami untuk bisa merasakan hubungan seks dengan cewek sexy. Pada awalnya kami sih berhasil mendapatkan pacar cewek sexy, tapi ketika kami mencoba menjebol pertahanannya, mereka dengan tegas memutuskan kami. Dari pengalaman itu munculah ide gila kami untuk melakukan pemerkosaan, tapi pemerkosaan yang terencana dan harus berakhir dengan kepuasan dari si korban juga. Emang bisa? Awalnya kami juga ragu, tapi kami kemudian memikirkannya dengan sangat matang.
Pertama, korban haruslah wanita yang kami kenal, jadi setidaknya dia tidak canggung dengan kami. Kedua, korban sebaiknya sudah tidak perawan karena kehilangan keperawanan akan menimbulkan trauma buat korban. Ketiga, kami harus mempersiapkan peralatan lengkap, mulai dari selendang untuk mengikat, plester untuk menutup mulut, jelly pelumas vagina dan bahkan spray perangsang wanita.
Setelah melakukan seleksi, pilihan kami jatuh pada seorang ibu kost seksi bernama Ibu Siska. Usianya sekitar 38-40 tahun dengan jilbab yang cukup modern kami bisa memperkirakan ukuran dadanya mencapai 36B bahkan mungkin 36C. Ibu Siska ini cukup mengenal kami karena kami sering main ke tempat kostnya yang khusus putri itu untuk urusan ngapelin anak kostnya tentu saja. Kalau soal wajah, wanita matang ini cocok sekali dengan namanya, Siska.. Dan yang juga membuat kami sering jelalatan adalah montoknya bongkahan pantat Ibu Siska yang tak mampu disembunyikan oleh rok panjangnya.
Ibu Siska tentu saja sudah punya suami, tapi dia isteri pertama dan suaminya lebih sering ”ngamar” di rumah isteri keduanya. Sebagai kompensasinya, Ibu Siska diberikan bisnis kost-kostan yang cukup memberikan penghasilan lumayan buat dia. Anaknya ada dua, yang pertama sudah SMP kelas 2 dan yang kedua masih SD kelas 5.
Maka dengan peralatan lengkap di dalam ransel kuliah, kami mendatangi kost milik Ibu Siska pada jam 10 pagi, saat sebagian besar penghuni kost pada kuliah dan kedua anaknya juga sedang sekolah.
Kami melihat kondisi kost saat itu cukup kondusif, sepi sekali, dan kami langsung berjalan memasuki rumah Ibu Siska yang menempel dengan kost-kostan.
”Selamat pagi Bu”, sapa kami ramah ketika melihat Ibu Siska sedang membereskan ruang tamunya. Pagi itu dia memakai kaos lengan panjang yang cukup ketat untuk ukuran baju muslim sehingga kami langsung merevisi perkiraan ukuran dadanya yang mungkin bisa mencapai 36D, pokoknya gede coy…
”Eh, Budi dan Yuda, kok pagi2x datengnya, mau ngapelin siapa? Kaya’nya pada kuliah tuh”, sapa Ibu Siska dengan senyum ramah di wajahnya yang manis yang terbungkus jilbab kaos berwarna putih.
”Iya ya Bu, sepi banget, jadi bingung, padahal kami sudah bawa pizza nih”, aku mulai memancing.
”Wah… sayang banget dong..”, kata Ibu Siska sambil terus membereskan lemari pajangan di ruang tamunya. Posisinya agak membelakangi kami sehingga kebahenolan pantatnya dibalik rok panjangnya jelas membuat kami semakin berdebar-debar dan tak sabar.
”Gimana kalau kita makan aja bareng-bareng Bu, mau kan?”, ajakku.
”Wah… beneran nih, Ibu sih enggak nolak”, candanya dengan renyah. Seandainya saja ia tahu maksud kedatangan kami, he3x…
”Ayo Bu… sok aja atuh”, sahut Budi seraya membuka kardus pizza yang masih panas itu.
Ibu Siska tanpa canggung nimbrung dengan kami dan bersama-sama dengan kami menikmati pizza yang lezat itu.
”Sayang kami enggak bawa minum Bu”, celotehku.
”Eh, maaf… mau minum apa?”, Ibu Siska yang sudah melahap dua potong pizza itu berdir menawarkan minum.
”Engg… kalau boleh sih susu Bu”, Budi memancing lagi.
”Waduh, kaya’nya saya enggak punya susu, gimana kalau kopi?”, tawarnya masih dengan lugu, padahal mata kami seakan sudah hendak meremas ”susunya” yang besar itu.
”Masa’ enggak punya susu Bu…”, canda Budi dengan melirik buah dada Ibu Siska.
”Hus… kamu memang bandel Ron”, Ibu Siska mulai sadar kalau kami memandangi ”susunya” dengan kagum dan nafsu.
”Sudah, tunggu saya akan buatkan kopi dulu ya…”, Ibu Siska mencoba tak meladeni canda kami yang mulai menjurus dan berjalan ke dapur denga lenggokan pantatnya yang bahenol.
Kami segera bangkit mengikuti Ibu montok itu. Tugas Budi adalah memegang Ibu Siska supaya ia tidak bisa berontak, sementara aku akan menutup mulutnya dengan selendang dan mendekap hidungnya dengn kapas yang berisi obat bius dosis rendah yang hanya akan membuat Ibu Siska sedikit lemas, tapi tetap sadar.
Kami medapati Ibu Siska sedang membuat racikan kopi di dapur. Pantatnya yang bahenol membelakangi kami dan dengan segera kami mengepungnya dari kanan dan kiri.
”Maaf Bu, kami maunya susu…boleh kan…”, pinta Budi dengan pandangan yang semakin nakal ke arah buah dadanya.
”Iya Bu, kami minta baik-baik…”, sahutku beriringan.
Ibu Siska mulai nampak panik melihat wajah mesum kami.
”Gila kalian…”, seru Ibu Siska mulai meninggi.
Melihat cara baik-baik tampaknya gagal, Budi dengan tubuh atletisnya itu segeran mendekap Ibu Siska dari belakang.
”Jangan ngelawan dong Bu…”, kata Budi.
”Apaan heh… Gila Kalian!!”, Ibu Siska mencoba memberontak, tapi Budi cukup kuat. Aku segera bertindak cepat dengan kapas obat biusku. Dalam sekejap Ibu Siska terlihat langsung pusing dan lemas. Aku segera menutup mulutnya dengan kain.
”Beres… udah enggak bisa berontak nih, ayo bawa ke tempat tidur…”, seru Budi.
Kami membopong tubuh bahenol Ibu Siska yang lemas itu ke kamar tidurnya dan sebagai langkah awal, aku bertugas memangku Ibu Siska dan Budi bertugas memberikan foreplay buat Ibu Siska.
Wajah Ibu Siska semakin pucat karena takut. Air mata meleleh dari matanya.
”Tenang Bu… kami berikan yang terbaik kok…enjoy aja…” bisikku di telinganya.
Budi dengan penuh percaya diri membuka baju dan celananya sehingga tubuh atletisnya hanya dibungkus celana kolor yang tak mampu menyembunyikan kebesaran penisnya.
Ibu Siska berusaha menendang Budi tatkala pria itu menyingkap rok panjangnya, namun tenaganya sangat kecil bahkan nyaris tak ada. Kini kami menikmati pemandangan kedua paha Ibu Siska yang montok, putih dan mulus.
”Keren coy…” seru Budi kagum pada pamandangan indah itu.
”Yo’i…” aku membenarkan,”terus ke atas dong”.
”Sabar…perlahan biar Ibu Siska menikmati”, kilah Budi.
Budi membelai paha Ibu Siska dengan lembut dan sekali-kali menciumnya sambil tangannya terus menyingkap rok panjang hingga terlihat daerah selangkangan dengan celana dalam warna hitam yang kontras dengan kulit putih pahanya.
”Wow… gondrong kaya’nya nih…”seru Budi seraya membelai rambut-rambut kemaluan Ibu Siska yang tumbuh melewati batas celana dalam.
Ibu Siska masih mencoba meronta, namun tetap tak bertenaga. Akhirnya ia hanya membuang muka dan memejamkan matanya.
Dengan nakal Budi mulai menciumi selangkangan Ibu Siska, suaranya berdecup keras, apalagi tatkala ia mencium tepat di bagian kemaluan Ibu Siska yang masih tertutup celana dalam.
”Buka dong Ron CD-nya…” celotehku tak sabar.
Budi menuruti kemauanku. Dengan perlahan ia memeloroti celana dalam hitam milik Ibu Siska sehingga kini gundukan bukit kemaluannya tampak jelas dengan rambut liar yang menutupi keindahan liang vaginanya.
”Kan gondrong…” seru Budi.
”Yah… maklum jarang dipake Ron…” aku menimpali.
”Goblok aja yang punya, kalau gue sih gue embat terus…” kata Budi.
Dengan lembut dan profesional, Budi menyibak rambut kemaluan Ibu Siska sehingga ia menemukan bibir vagina yang merekah.
”Eh… udh agak basah nih…” seru Budi.
”wah… dari tadi kan kami sudah bilang Bu, jangan ngelawan… pasti enak kok…” candaku.
Ibu Siska masih memalingkan wajahnya dan memejamkan matanya. Dia masih berupaya mengingkari bahwa ternyata dia terangsang oleh kami.
Budi memulai jurus-jurus foreplay dengan membasahi jarinya denga jelly pelumas dan kemudian membelai-belai labium mayora Ibu Siska, dan tentu saja tak ketinggalan klitorisnya. DI bagian klitoris, Budi dengan penuh nafsu menjulurkan lidahnya dan memainkannya.
Tubuh Ibu Siska sontak terasa menggeliat, kami tertawa.
”Tuh kan… enak kan Bu…” seruku.
Melihat reaksi Ibu Siska yang menggelinjang, Budi semakin terbakar nafsu, ia melumat habis kemaluan Ibu Siska dengan mulut dan lidahnya. Aku yang melihat juga semakin berahi.
Tubuh Ibu Siska semakin terasa menggelinjang, dan lambat laun wajahnya tak lagi berpaling. Ia mulai menatap Budi yang tengah mengerjai kemaluannya yang sudah lama ”nganggur” itu. Menurutku mungkin baru pertama kali dia dioral seperti itu. Budi memang dahsyat, lidahnya menjalar-jalar dari perbatasan anus dan vagina hingga ujung klitoris dan sekali-kali ia mengulum klitoris Ibu Siska. Wanita mana yang bisa tahan kalau klitorisnya dikulum seperti itu. Mata Ibu Siska yang tadi basah oleh air mata kini menatap penuh harap pada Budi.
”Ibu… mau saya buka tutup mulutnya enggak? Tapi jangan teriak ya…” aku menawari Ibu Siska dan wanita itu terlihat mengangguk. Aku pun membuka kain penutup mulutnya.
”Kalian gila…”, seru Ibu Siska. Tapi intonasinya sudah berbeda dengan seruan pada awal sebelumnya. Kini ia seperti meracau antara kalut dan nikmat.
”engh…. okh….”, Ibu Siska semakin tak malu mengeluarkan lenguhan erotisnya tatkala Budi memainkan jarinya di dalam liang kewanitaanya.
Aku yang dari tadi Cuma jadi penonton mulai beraksi. Dengan lihai tanganku menarik kaos Ibu Siska hingga buah dadanya yang terbungkus BH hitam menunjukkan kebesarannya.
”Buset… gede banget… ini mah semangka…” seruku takjub. Buah dada Ibu Siska memang besar dan tampak masih kencang. Dengan tak sabar aku mencopot pengait BH-nya sehingga buah besar yang montok itu menggelantung menantang. Aku segera meremas-remas dan memilin puting susunya yang juga besar itu.
”Engh… kalian memang kurang ajar…” racau Ibu Siska yang semakin terbakar birahi. Wajah manisnya sudah terlihat mesum dan tak ada lagi air mata yang mengalir bahkan mulutnya setengah terbuka seakan minta dicium. Akupun menyosornya dan ternyata memang benar, wanita sexy putih itu membalas ciumanku. Akupun melumat bibirnya yang seksi itu sambil terus meremas-remas susunya. Sementara di bawah, Budi terus bergerilya. Dan hasilnya tentu saja satu kosong….Ibu Siska tak mampu lagi menahan orgasmenya.
”Engh…. gila….engh….okhhh”, tubuhnya mengelinjang hebat. Pengaruh obat bius sudah semakin berkurang sehingga gelinjangannya semakin terasa. Ibu dua anak itu melenguh cukup keras dan panjang tatkana orgasme menjemputnya. Wajah Budi terjepit dua paha mulusnya sementara bibirku nyaris tergigit oleh bibir Ibu montok yang sedang meraih kenikmatan duniawi itu.
”Wow…. asyik kan Bu…” seruku.
”Kini giliran kami ya Bu…” seru Budi tak sabar. Ia memoloroti celana dalamya dan dengan segera menempelkan ujung penisnya di bibir kemaluan Ibu Siska.
”Eh… pake kondom dong Ron…” seruku.
”Buset…. hampir lupa gua…”, Budi urung menghunjamkan penisnya dan segera mencari kondom di dalam tas dan kemudian memakainya. Ia segera menempelkan penisnya kembali ke bibir kemaluan Ibu Siska yang montok dan perlahan-lahan memasukinya. Aku melihat wajah Ibu Siska semakin mesum saja. Aku menciumnya lagi dan ia juga membalasnya. Ronde kedua dimulai. Aku berciuman dengan Ibu Siska sambil terus meremas-remas buah montoknya, sementara Budi asyik menggenjot vaginanya. Sampai akhirnya terdengar lenguhan Budi tanda dia melepas orgasmenya.
”Hmm…. istirahat dulu ya bu…” ajakku membaringkn tubuh Ibu Siska di atas tempat tidur. Tubuh montok itu masih terbungkus rok panjang dan kaos yang tersingkap, bahkan jilbabnya masih dikenakannya.
Aku mengambil botol aqua dari dalam tas dan menyodorkannya pada Ibu Siska. Ia menerima dan mengguk airnya. Sementara aku merobek tissue vagina yang juga sudah kusiapkan. Pokoknya lengkap. Aku bersihkan vaginanya dengan tissue yang harum itu sehingga tak ada lagi bekas-bekas penjajahan Budi.
Setelah aku rasa cukup bersih kini giliranku memberikan oral seks pada Ibu Siska. Wanita itu mulai terangsang lagi. Kini ia semakin tak malu-malu. Tanggannya membelai-belai rambutku dan sekali-kali menariknya tatkala ia merasa terangsang hebat. Aku semakin kalap dan melahap vagina ibu beranak dua itu. Sampai akhirnya aku rasa sudah cukup waktunya untuk melakukan penetrasi.
”Bu… doggy style ya…” pintaku.
”Apaan tuh?”, tanya lugu.
”Itu tuh bu… yang nungging…” canda Budi yang tengah istirahat.
Ibu Siska menurut, ia kemudian bangkit dari tempat tidur, turun ke lantai dan menunggi di tepi tempat tidur. Wow… pantat bahenolnya membuat aku semakin tak sabar menikmati permainan inti.
Aku pun menempelkan selangkanganku di pantatnya, empuk sekali. Dengan tak sabar aku menyodokkan penis yang sudah berbalut kondom ke dalam vaginanya. Agak mudah memang, maklum habis dipakai Budi, namun tetap nikmat.
Aku menggenjotnya dengan irama perlahan seakan membelai dinding-dinding vaginanya. Ibu Siska tampaknya sangat menikmati permainanku. Pantat bahenolnya bergoyang-goyang mengikuti irama sodokanku. Sampai akhir aku merasa otot vaginanya mulai mengeras tanda ia sudah hampir orgasme. Aku mempercepat tempo permainan dan akhirnya kami bisa meraih orgasme bersama-sama.
Ibu Siska menggelepar di atas tempat tidur. Ia pasti tak habis pikir, dalam hidupnya dia bisa merasakan di gilir seperti ini, biasanya suaminya yang menggilir dia dan istri mudanya, kini dia yang merasakan dua penis sekaligus.
”Ibu… ibu enggak marah kan?”, tanyaku.
Ibu Siska tak menjawab, ia menatap kami dengan wajah penuh terima kasih.
”Kalian… kalian kurang ajar…”, serunya.
”Tapi… enak kan Bu”, canda Budi yang sudah berpakaian kembali.
”Enak banget… gila!”, seru Ibu Siska dengan senyum puas.
”He3x…. berarti lain kali boleh dateng lagi dong?”, tanyaku.
”Gila!… Kalian memang gila!”, Ibu Siska berjalan menuju kamar mandi. Tapi dari intonasinya jelas dia mengiyakan. Dan nyatanya seminggu kemudian ketika kami datang ke rumahnya, Ibu Siska sudah siap tempur. Selanjutnya justru dia yang SMS kami untuk minta jatah. Isinya singkat dan jelas: ”memek ibu gatel nih, garukin ya…”. Huh… dulu aja berontak-rontak, sekarang meledak-ledak.
0 Komentar